Pesan Terakhir di Ujung Senja

Karya: Arie

Langit sore tampak muram, seolah ikut berkabung atas kepergian seseorang yang amat berarti dalam hidup Ryan. Ia menatap kosong nisan sederhana yang bertuliskan nama Ibu angkatnya. Tangisnya belum berhenti sejak prosesi pemakaman selesai. Dunia terasa runtuh. Satu-satunya orang yang menjadi tempatnya pulang, kini telah pergi untuk selamanya.

Ryan tidak pernah tahu seperti apa wajah ibu dan ayah kandungnya. Sejak kecil, ia sudah diasuh oleh sepasang suami istri yang sederhana tapi penuh kasih. Mereka bukan orang kaya, tapi cinta dan perhatian yang mereka berikan cukup untuk mengisi celah kosong di hati Ryan.

“Ibu, kenapa ayahku nggak pernah datang?” tanya Ryan kecil suatu malam.

Ibunya hanya tersenyum lembut, menyembunyikan kesedihan di balik matanya yang lelah. “Mungkin, suatu saat nanti, dia akan mencarimu, Nak.” Ryan mengingat ucapan ibu angkatnya dulu. dia berjanji untuk menjadi anak yang kuat. Meski hidup dalam keterbatasan, ia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan rajin.

Setelah lulus dari pondok pesantren, Ryan mendapat tawaran beasiswa di salah satu universitas di Yogyakarta. Awalnya, ia ragu. Ayah angkatnya sedang sakit-sakitan, dan ia tidak ingin meninggalkan beliau. Namun, pamannya meyakinkannya bahwa ini adalah jalan terbaik untuk masa depannya.

“Bapakmu ingin kamu sukses, Ryan. Pergilah. Aku yakin kamu bisa,” kata pamannya. Dengan berat hati, Ryan berangkat ke Yogyakarta dengan uang tabungannya yang tak seberapa. Ia hanya punya Rp500 ribu di sakunya, cukup untuk bertahan hidup beberapa minggu.

Jogja menyambut Ryan dengan keras. Di kampus, ia merasa terasing. Penampilannya yang sederhana, sepatu yang sudah robek, dan baju yang seadanya membuatnya sering dipandang sebelah mata.

“Ayo, kita makan di kantin!” ajak teman sekelasnya. Ryan hanya tersenyum kecil.

“Kalian duluan aja. Aku udah makan.” Padahal, perutnya keroncongan sejak pagi.

Setiap malam, ia tidur di masjid kampus. Hanya itu tempat yang bisa memberinya sedikit rasa aman. Namun, rasa lapar dan kesepian sering membuatnya menangis dalam diam.

Suatu pagi, saat sedang mengerjakan tugas di perpustakaan, ponsel Ryan bergetar. Pesan dari pamannya masuk.

“Ryan, bapakmu meninggal pagi ini. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.” Tangannya gemetar. Air matanya langsung mengalir deras. Dunia serasa berhenti berputar. Ia ingin pulang, ingin melihat wajah ayah angkatnya untuk terakhir kali. Namun, uang di sakunya bahkan tidak cukup untuk ongkos bus. Dengan hati yang hancur, Ryan berjalan tanpa tujuan di tengah hujan deras. Ia mencari cara untuk mendapatkan uang, namun tak ada yang bisa ia lakukan. Setelah lama berjalan, ia kembali ke masjid dengan tubuh basah kuyup dan menangis tersedu-sedu.

“Kenapa menangis, Nak?” tanya seorang bapak pengurus masjid yang melihat Ryan di sudut ruangan. Dengan suara parau, Ryan menceritakan semuanya. Mendengar kisahnya, bapak itu terharu.

“Tunggu sebentar ya. Bapak akan carikan ongkos untukmu pulang.”

Setelah menempuh perjalanan panjang, Ryan akhirnya sampai di rumahnya. Suasana duka menyelimuti. Ia langsung menuju ruang tamu, dan di sana terbaring jenazah ayah angkatnya yang telah dibalut kain kafan.

angkatnya yang telah dibalut kain kafan.

Tangis Ryan pecah. “Bapak… maafkan Ryan… Ryan belum sempat membahagiakan Bapak…”

Setelah pemakaman selesai, Ryan duduk termenung di sudut rumah. Pandangannya kosong, hatinya hampa. Hingga pamannya datang dan menyerahkan sebuah surat.

“Ini titipan dari bapakmu sebelum beliau meninggal,” kata pamannya.

Ryan membuka surat itu dengan tangan gemetar.

Surat dari Bapak

“Untuk anakku tersayang, Ryan. Nak, maafkan Bapak jika selama ini Bapak belum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Bapak hanya bisa memberimu kasih sayang yang tulus. Ryan, di dalam surat ini, ada alamat terakhir yang Bapak dapatkan tentang ayah kandungmu. Bapak berharap suatu saat kamu bisa menemukannya dan merasakan kasih sayang dari orang tuamu yang sebenarnya.Ingat, Nak. Apapun yang terjadi, jangan pernah menyerah. Lanjutkan kuliahmu. Jadilah orang yang sukses. Bapak selalu bangga padamu.

Salam sayang,

Bapak.”

Air mata Ryan kembali mengalir deras. Di satu sisi, ia ingin tetap di rumah dan menjaga kenangan tentang ayah angkatnya. Namun di sisi lain, ia tahu bahwa amanat itu harus ia jalankan.Dengan dukungan pamannya, Ryan memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta. Ia bertekad untuk mewujudkan impian ayah angkatnya.

“Hidup memang berat, tapi aku harus kuat,” gumam Ryan dalam hati.

Di Jogja, Ryan bekerja keras. Ia mengajar mengaji di masjid, mengambil pekerjaan sampingan, dan belajar dengan giat. Meski hidupnya penuh cobaan, ia tak pernah menyerah.

Waktu terus berlalu. Ryan akhirnya lulus dengan predikat cumlaude. Di hari wisudanya, ia berdiri di depan cermin dengan mengenakan toga sederhana.

“Bapak, lihatlah… Aku berhasil. Aku sudah menjadi seperti yang Bapak inginkan,” bisiknya sambil menatap langit.

Pelangi muncul di langit Jogja, seolah memberi tanda bahwa semua perjuangan dan pengorbanan Ryan tak sia-sia.

Epilog

Ryan melangkah dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Meski jejak masa lalu masih tersembunyi di balik kabut takdir, ia tahu satu hal pasti: cinta yang tulus tak pernah menghilang, hanya berubah wujud. Surat itu adalah kompas hatinya, tetapi cinta dari ayah angkatnya adalah bintang penuntun di langit hidupnya. Dan jika suatu hari ia menemukan pria yang selama ini dicarinya, Ryan tak akan datang dengan luka atau tanya yang menyakitkan. Ia akan datang dengan hati penuh syukur, membawa kisah tentang seorang ayah yang mengajarinya arti keluarga sejati. bahwa keluarga bukan sekadar soal darah, melainkan tentang siapa yang memilih untuk bertahan, mencintai, dan menginspirasi. Dalam perjalanan hidup yang penuh liku, Ryan menyadari satu hal: yang membuat seseorang bertahan bukanlah garis keturunan, tetapi cinta yang diberikan tanpa syarat. Dan itu adalah warisan paling berharga yang akan ia teruskan kepada generasi berikutnya warisan cinta yang tak lekang oleh waktu. Langkah Ryan mungkin masih panjang, tetapi hatinya telah menemukan rumah sejati. Rumah yang terbangun dari kenangan, doa, dan kasih sayang abadi seorang ayah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *