Ditengah keadaan nasional yang mengalami pandemi corona serta dampak yang terjadi dari pandemi, pemerintah melakukan antisipasi dengan mengeluarkan Peraturan pemerintah pengganti (Perppu) Undang-undang No 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan corona virus disease (covid-19). Sebagai upaya untuk menyelamatkan rakyat dari keterpurukan sosial dan ekonomi akibat virus corona.
Perppu yang merupakan instrument yang diberikan oleh UUD kepada Presiden untuk menyelasaikan problem yang dihadapi oleh negara dengan pertimbangan kegentingan yang memaksa, kegentingan ini merupakan subyektif Presiden yang dalam UUD maupun UU tidak mengatur secara konkrit yang dimaksud kegentingan yang memaksa tetapi dalam putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 memberikan gambaran perihal subyektif Presiden harus didukung dengan tiga alasan yaitu, ada kebutuhan mendesak yang harus diselesaikan berdasarkan UU, UU yang dimaksud tidak ada atau ada tetapi tidak memadai sehingga terjadi kekosongan hukum, dan kekosongan hukum tidak dapat dibuatkan UU dengan prosedur normal.
Perppu No 1 tahun 2020 secara prosedur sudah sesuai dengan UUD, UU serta keputusan MK, dengan mendasari alasan yang diuraikan di atas. Dalam tulisan Menko Pulhukam, Mahfud MD di Jawa Pos disebutkan bahwa perppu No 1 tahun 2020 ini ada karena dalam UU APBN 2020 tidak menyediakan dana penanggungan bencana sebesar yang dibutuhkan. Untuk membuat UU melalui prosedur biasa tidak memungkinkan karena waktu mendesak.
Pasal Bermasalah
Walaupun sejatinya ada Itikad baik pemerintah dalam adanya Perppu tapi secara historis setiap ada Perppu pasti selalu ada masyarakat yang menentang seperti Perppu tentang perubahan atas UU No 30 tahun 2002, Perpu tentang pembubaran Ormas, sehingga tidak heran jika Perppu No. 1 tahun 2020 juga mengalami penentangan, terlebih beberapa waktu terakhir adanya pengajuan RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang dianggap tidak menguntungkan masyarakat. Dalam video yang diupload oleh Menko Polhukan, Mahfud Md. Menggungat Perppu merupakan hal biasa. Dalam negara demokrasi, dimana pemerintah dalam kebijakannya harus berdasarkan atas kehendak rakyat.
Dalam beberapa hari terakhir civil society melakukan diskusi serta kajian dalam melihat Perppu No 1 tahun 2020, sehingga beberapa tokoh masyarakat seperti, Din Syamsuddin, Amien Rais, dan Sri Edi Swasono melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas pasal imunitas yang ada di pasal 27 ayat (1),(2), dan (3). Pasal tersebut mengandung norma perlindungan terhadap aparat pemerintah yang melaksanakan program penanganan Covid-19 itu tidak dapat digugat secara perdata maupun pidana.
Ketika dimati dalam perundang-undangan sebelumnya, Indonesia mengakui adanya kekebalan hukum. Dalam uraian Mahfud MD ada 8 UU yang mengatur kekebalan Hukum. seperti, KUHP (pasal 50 dan 51), UU pengampunan Pajak (pasal 22), UU pencegahan dan penanganan krisi sistem keuangan (pasal 48), UU Bank Indonesia (pasal 45), UU ketentuan umum perpajakan (pasal 36 ayat 5), UU ombudsman (pasal 10), UU Advokat (pasal 16), dan UU MD3 (pasal 224 ayat 1). Dia beranggapan isi semuanya sama dengan isi pasal 27 Perppu yang digugat.
Dalam pandangan penulis dalam norma dipasal 27 ayat (1) biaya yang dikeluarkan pemerintah dan/atau KSSK dalam kebijakannya yang diatur dalam pasal tersebut dianggap bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara, sehingga dapat dimungkinkan perppu ini akan melahirkan calon koruptur yang merampok uang negara tidak dihukum karena perbuatan yang disebutkan dalam pasal 27 ayat (1) tidak dianggap kerugian negara. dalam ayat (2) seluruh pejabat yang diatur dalam perppu tersebut tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ayat (2) ini memiliki hubungan dengan pasal (1) karena dengan cara bagaimana mengukur itikad baik para pejabat pemerintah dalam melaksanakan tugasnya ketika segala perbuatannya yang merugikan negara dianggap bukan kerugian negara, sehingga dalam pandangan pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, untuk membuktikan adanya niat baik atau buruk dalam ayat (2) ini tidak mudah. dalam ayat (3) semua tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan perppu bukan merupak obyek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara, ayat (3) tidak adanya perlindungan terhadap masyarakat sehingga sangat berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekusaan (abuse of power)
Selain hak imunitas yang diberikan oleh perppu kepada aparat pemerintah yang melaksanakan program covid-19 ada pasal lain yang dianggap bermasalah yaitu pasal 2 ayat 1 poin a, pemerintah dapat menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penangan corona virus dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022 serta kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% sejak tahun anggaran 2023.
Penetapan yang melampaui 3% dari PDB menjadi landasan hukum pemerintah untuk melakukan pinjaman lagi kepada negara lain, hal ini dapat di maklumi ketika pinjaman tersebut di alokasikan dengan baik dalam bidang kesehatan serta yang lainnya tapi di sisi yang lain muncul ke khawatiran perppu ini menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk merampok negara dengan akan menetapkan kembali defisit anggaran 3% pada tahun anggaran 2023 yang mana dapat dimungkinkan pandemi corona akan berakhir pada tahun 2021.
Kesimpulan
Perppu No 1 Tahun 2020 merupakan langkah presiden dalam menjaga stabilitas ekonomi dalam wabah pandemi corona yang melanda Indonesia, ini merupakan upaya pemerintah dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk membuat UU sesuai dengan prosedur yang biasa.
Keberadaan perppu ini dapat dimungkinkan apabila civil society tidak melakukan respon atas perppu ini akan menjadi landasan hukum pemerintah untuk penyalahgunaan kewenangan abose of power apabila tidak dicegah dengan mengajukan ke MK dengan melakukan uji materi (Judicial Review), selain itu DPR sebagai badan perwakilan rakyat dengan badan legislasinya harus sesegera mungkin melakukan kajian atas materi perppu agar check and blances dalam negara negara berfungsi dengan baik. Pengujian Materi di MK walaupun UUD memberikan wewenang memutus tingkat pertama dan terakhir Perppu ini masih harus diajukan disidang berikutnya di DPR, sehingga DPR diharapkan melakukan kajian yang mendalam atas perpu tersebut untuk melestarikan kepercayaan publik terhadap DPR.