Mencermati Penalaran

Judul di atas menyimpan dua kandungan arti dari dua terma; (1) men-cermat-i dan (2) pe-nalar-an. Menurut tinjauan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring), mencermati merupakan kegiatan memperhatikan dengan cermat (teliti, penuh minat). Dan penalaran merupakan cara menggunakan nalar, atau cara berpikir logis. Atas dasar itu, “Mencermati Penalaran” mengandung dua pengertian korelatif; (1) mencermati [kemampuan memotret] pola-pola [subject] atas (2) penalaran [object].
Ada banyak sekali cara atau metode di dalam usaha seseorang bernalar. Dalam penalaran di sini, tentu setiap individu memiliki corak bernalar (logical pattern) masing-masing. Karena setiap individu memiliki corak bernalarnya, maka konklusi yang dihasilkan dari orang pertama (1P-subject) dengan orang kedua (2P-subject) terhadap satu peristiwa (In1-object) pun berbeda. Mengutip dari logikawan Jean-Yves Beziau1, “Terdapat lebih banyak logika di muka bumi ketimbang atom di alam semesta.” Begitu banyaknya, hal demikian berimplikasi kepada krisis fondasional logika, alias tidak ada satu logika pakem yang dapat menguraikan ragam permasalahan yang berakar dari corak logika masing-masing. Itulah mengapa Martin Suryajaya mengarang sebuah buku berjudul Principia Logica2, di sana ia memaparkan tentang banyaknya sistem logika yang ada, serta menawarkan “cara baru” dalam usaha menyatukan ragam corak logika.

Penting juga diketahui, bahwa corak logika tidak pernah lepas dari antropologi budaya dan konteks zaman di suatu daerah serta peran agama di dalamnya. Sebagai contoh di dalam Islam, banyak sekali antara ulama satu dengan yang lainnya berbeda, seperti Ibn Sina (w. 1037) dan al-Gazali (w. 1111). Pada taraf pembahasan logika, Ibn Sina cukup komprehensif menerangkan landasan epistemiknya, ia menjelaskan interrelasi lafẓ (word/term), kullī (universal), juz’ī (particular), żātī (essence), jins (genus), faṣl (differentiation), ‘arḍ (accident) dan seterusnya. Namun al-Gazali mengkritik landasan epistemik logika berikut, karena terlalu mengedepankan akal (dalam tendensi). Di sisi lain, kritik Gazali berasas pada pandangan Ibn Sina bahwa pengetahuan mutlak tentang realitas dapat dicapai melalui penalaran akal. Padahal, bagi al-Gazali, variabel spiritual (‘irfānī3/intuition) juga perlu dipertimbangkan, karena akal memiliki keterbatasan.
Selain itu, di Barat misalnya. Pergulatan antara; (1) empirisme (John Locke [w. 1704], David Hume [1776], George Berkeley [1753]), pengetahuan diperoleh melalui hal-hal empirik; (2) rasionalisme (Rene Descartes [w. 1650], Baruch Spinoza [1677], Gottfried Leibniz [1716]), pengetahuan diperoleh melalui rasio; (3) kritisisme (Immanuel Kant [w. 1804], Friedrich Nietzsche [1900]), pengetahuan tidak dapat diinkorelasi antara hal-hal yang empiris dan rasio, melainkan saling terpadu; dan (4) postivisme (Auguste Comte [w. 1857], Emile Durkheim [1917], Herbert Spencer [1903]), suatu pengetahuan diakui ilmiah hanyalah yang empiris.

Saling kritiknya antartokoh di atas, semua dilandasi dengan perbedaan corak logika yang berbeda setiap individu. Maka tidak heranlah di atas tadi Jean-Yves Beziau mengatakan jika jumlah logika di dunia lebih banyak ketimbang jumlah atom di semesta. Kendati begitu, namun ruang lingkup pembahasan logika masih dapat kita “screenshot”. Manusia, dapat disebut sebagai koridor penyelidikan logika. Sudut pandang berpikir (point of view) manusia, dapat disebut objek materialnya. Dari keduanya terrajutlah sistematika berpikir bagi manusia sebagai “bekal” berpikir yang seharusnya. Diksi “seharusnya” di sini mengacu kepada landasan akan bentuk-bentuk (shapes) sehingga tercipta hukum-hukum berpikir. Maka diksi “benar” atau “seharusnya” bukan dalam pengertian mutlak atau hakikat, melainkan “benar” menurut “kebenaran bentuk”. “Bagaimana benarnya” menurut teori verifikasi, “bagaimana benarnya” menurut teori falsifikasi, atau “bagaimana benarnya” menurut intuisi, dan seterusnya. Jadi kebenaran materi tersebut disandarkan pada rumpun keilmuannya masing-masing, tidak dapat dicampuradukkan. Adapun hal ini lebih komprehensif dapat digapai melalui koridor pembahasan epistemologi.
Uraian di atas sedikit penjelasan tentang pentingnya mencermati penalaran. Karena penalaran yang tidak dicermati, dapat menimbulkan konflik. Cermatilah penalaran, maka konflik akan terhindar, dan anda akan tiba pada kebenaran.


Referensi
Hidayat, A. Rahman. 2018. Filsafat Berpikir: Teknik-teknik Berpikir Logis, Kontra Kesesatan Berpikir. Pamekasan: Duta Media Publishing.
Miswari. 2016. Filsafat Terakhir: Evaluasi Filsafat Sepanjang Masa. Aceh: Unimal Press.
Suryajaya, Martin. 2022. Principia Logica. Jakarta Barat: Gang Kabel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *