Oleh : Helmi Yahya
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, peran ilmu bagi manusia adalah menjadi fasilatas atau dengan kata lain ilmu menjadi sarana pembantu bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan hidupnya. Seiring berjalannya waktu yang semakin menunjukkan perkembangan pesat dalam berbagai lini, termasuk ranah ilmu dan tekhnologi, bukan ilmu yang menjadi sarana melainkan manusialah yang menjadi pembantu bagi ilmu itu sendiri, seperti yang di jelaskan dalam kutipan buku filsafat ilmu karangan Jujun S. Suriasumantri, “dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya: manusialah yang akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi”.[1]
Sejarah perkembangan ilmu diawali dan dikaitkan dengan sebuah kebutuhan kondisi realitas yang menjadi titik tolak perkembangan ilmu. Misalnya pada saat terjadi situasi dan kondisi peperangan atau ada keinginan manusia untuk berperang, maka penemuan seputar keilmuan bukan saja ditujukan untuk menguasai alam melainkan untuk tujuan perang, yang mana perang itu bermaksud untuk saling menguasai dengan cara saling membunuh atau memusnahkan satu sama lain, baik dari individu ataupun kelompok yang berkepentingan. Problematika ini menunjukkan bahwa perkembangan dan kemajuan ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk melayani (sarana dan prasarana) kebutuhan dan tujuan manusia, sehingga sepantasnya ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan manusia, namun keadaan justru terbalik yaitu manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu.[2]
Proses berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di lain sisi tidak bisa kita pungkiri bahwa manusia mempunyai ketergantungan lebih terhadap ilmu dan teknologi, di mana peran ilmu dan teknologi sangat menjadi penyokong bagi manusia dalam berbagai sisi kehidupan, seperti di bidang ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, dan bahkan pendidikan yang dalam proses pelaksanaannya menggunakan alat bantu dari penemuan ilmu dan teknologi. Dari awal era modern sampai pada masa sekarang ini, ketergantungan manusia terhadap penemuan atau penciptaan hal baru dari hasil perkembangan dunia keilmuan semakin menambah kecenderungan dan ketergantungan manusia terhadap ilmu dan teknologi untuk meningkatkan asas efisiensi dan efektivitas kinerja dalam berbagai bidang.
Kewajiban yang harus diketahui adalah hasil perkembangan keilmuan bukan hanya berdampak positif dalam kehidupan manusia, akan tetapi dampak negatif yang ditimbulkan perlu kita refleksikan kembali, misalnya dalam teknologi pembuatan senjata, yang mana senjata tersebut bisa digunakan pada hal yang benar dan juga pada hal yang salah, untuk mengantisipasi masalah ini dan sejenisnya para ilmuwan mengembalikan fenomena tersebut pada hakikat moral. Hakikat moral dalam menghadapi eksistensi ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua golongan pendapat, golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral (bebas) dari nilai-nilai baik ataupun buruknya kegiatan keilmuan, baik secara ontologis maupun aksiologis. Sedangkan golongan kedua berpendapat sebaliknya bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanya terbatas pada sisi ontologis keilmuan saja, sedangkan dalam ranah aksiologis (penggunaanya) bahkan pemilihan obyek penelitian kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.
Masalah moral tidak bisa terlepas dengan tekad manusia untuk menemukan sebuah kebeneran, sebab usaha manusia dalam menemukan sebuah kebenaran memerlukan keberanian. Akan tetapi manusia dewasa ini lebih mengikuti arus tanpa memikirkan dampak negatif dari apa yang dilakukan atau apa yang dihasilkan dalam berbagai aktivitas kehidupan termasuk titik pembahasan kali ini yakni ilmu dan moral. Tulisan ini oleh penulis akan diakhiri dengan kutipan salah satu refrensi yang diambil oleh penulis dari salah satu literatur kegiatan resech yang berjudul The Fucture Of Human Agency yang dilakukan oleh Janna Anderson dan Lee Rainie yaitu; “Ketika masyarakat semakin memanfaatkan teknologi ini untuk menambah, meningkatkan, dan menyederhanakan kehidupan mereka, mereka mengalihkan sebagian pengambilan keputusan dan otonomi ke alat digital. Hal itulah yang kami eksplorasi dalam survei ini. Beberapa pihak khawatir bahwa manusia akan menyerahkan segalanya – termasuk keputusan hidup dan mati – ke teknologi. Beberapa orang berpendapat bahwa sistem ini akan dirancang sedemikian rupa agar dapat lebih memasukkan masukan manusia dalam pengambilan keputusan, sehingga menjamin bahwa masyarakat tetap memegang kendali atas bagian-bagian paling relevan dalam kehidupan mereka dan pilihan-pilihan mereka sendiri.”[3]
[1] Jaques Ellul, The technological Society (New York: Aflred Knopf, 1964).
[2] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat ilmu
[3] Janna Andersond and Lee Rainie, The future of Human Aggency
Refrensi