Taufiq Hidayat Anggota IMABA Yogyakarta

Perjalanan ilmu pengetahuan begitu panjang meneratas ruang dan waktu peradaban, dimana peradaban manusia terus berkembang sampai era sekarang. Seleksi alam menjadi tantangan besar bagi setiap spesies, setiap spesies terus bersaing guna mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Manusia merupakan salah satu spesies yang tetap bertahan dan merupakan spesies yang paling bertahan ketimbang spesies-spesies yang lainnya. Karena manusia bukan saja mengembangkan ketahanan fisiknya seperti yang dilakukan spesies-spesies yang lain, manusia juga mengembangkan pengetahuannya sebagai sarana utama dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Perjalanan panjang peradaban manusia dapat dibagi menjadi empat bagian yakni;  khaos – manusia mengartikan bahwa alam semesta tidak dapat dipahami, karena bersifat acak. Kosmos – manusia memiliki kesadaran bahwa alam semesta dapat dipahami, karena pada dasarnya terdapat keteraturan di dalamnya. Mitosperenungan panjang manusia terhadap alam yang komplek dengan sendirinya menyeret manusia memahami bahwa alam semesta hanya dapat dipahami melalui adi kodrati seperti dewa-dewi. Pada perkembangan yang terakhir yakni manusia bertransformasi pada Logosdi mana manusia telah mengetahui bahwa alam semesta dapat dipahami tanpa melalui adi kodrati, tetapi melalui akal budi dan pengalaman hidup manusia tersendiri.

Sesuai dengan transformasi manusia yang dijelaskan di atas, arus peradaban semakin berkembang, dan pada abad ke-5 SM bertepatan di Ionia terjadi pergeseran pola pikir manusia menjadi babak baru permulaan filsafat dan sains. Sepanjang perjalanan sejarah para filsuf awal (pra-socrates) memberi dobrakan besar dalam sejarah ilmu pengetahuan, seperti Thales, Anaximanes, Anaximander dan beberapa filsuf lainnya. Mereka, para filsuf (pra-socrates) memberanikan diri keluar dari kepercayaan-kepercayaan dan mitos-mitos yang dipercayai oleh nenek moyang, para filsuf (pra-socrates) mencoba mencari jawaban dengan menggunakan pikiran-pikirannya sendiri. Namun, filsuf-filsuf pra-socrates disebut sebagai filsuf alam, demikian karena mereka fokus utamanya dalam mencari jawaban-jawaban dan mengulas ulang tragedi-tragedi yang terjadi pada alam. Pemikiran yang memukau di era itu dapat mangungkap tragedi yang terjadi pada alam, sepertihalnya; Thales mengatakan asal-usul alam semesta adalah air, Anaximanderos mengatakan sesuatu yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, Anaximenes mengatakan udara sebagai asal-usul keterjadian segalanya, Pythagoras menemukan prediksi tentang gerhanan mata hari, dan pandangan-pandangan yang ditawarkan oleh filsuf-filsuf yang lain.

Namun, pada sekitar abad 375 SM muncullah satu golongan yang sangat berpengaruh, tetapi pandangan-pandangan yang mereka tawarkan merupakan pengetahuan yang dangkal dan menghilangkan kegemilangan tradisi-tradisi sebelumnya yang mengedepenkan sikap skeptis dan radikal dalam mengatasi setiap problematika yang ada, yakni Kaum Sofis. Sofisme berasal dari kata sofis yang berarti cerdik dan pandai. Dalam perkembangan selanjutnya diartikan bersilat lidah. Hal tersebut disebabkan karena Kaum Sofis dalam menyampaikan filsafatnya berkeliling ke kota-kota dan pasar-pasar dengan hanya bermodalkan retorika untuk memanipulasi masyarakat umum demi kepentingan sendiri. Orang-orang Sofis ini tidak disukai oleh para filsuf, terutama oleh socrates dan plato, karenakan mereka merupakan orang-orang yang kurang terpelajar, orang yang menjual kebijakan untuk memperoleh materi. Mereka (Sofisme) ingin dianggap populer dengan ide-idenya tanpa memperlihatkan sesuatu yang orisinil (Pengantar filsafat:Waris, 27).

Kaum Sofis pada era tersebut sangatlah meraja lela, mereka membuat-buat kesimpulan yang seakan-akan benar namun salah. Mereka sangan picik dalam mengambil kesimpulan ilmu pengetahuan. Para guru Sofisme mengajarkan bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu, dan apabila masih ada pertentangan maka tidak ada kebenaran yang obyektif dan universal. Jadi,  Kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai. Oleh sebab itu, setiap pendirian dapat dibenarkan dengan retorika. Dengan cara itu, dicobalah untuk mendapat persetujuan orang banyak. Apabila banyak yang setuju, maka hal itu sudah dianggap benar. Upaya yang dilakukan sofime tersebut menggambarkan pengetahuan menjadi dangkal (Biografi filsuf yunani paling berpengaruh: Alogsius G Dinora, 26).

Kedangkalan dan kesesatan dalam ilmu pengetahuan pada saat itu, Socrates mengambil resiko menentang pada ajaran-ajaran Sofisme yang meraja lela, sehingga Socrates dianggap meniadakan dewa-dewa yang diakui negara dan sebagai orang yang mendatangkan keresahan pada konstruksi sosial, yang mebuat Socrates dihukum mati dengan meminum racun yang mematikan. Namun, perjuangan yang diupayakannya membuahkan hasil yang menakjubkan, Socrates dapat merumuskan kaidah-kaidah dasar berfikir untuk membantah kaum sofis, yang di namakan metode dialektika. Kontribusi besar Socrates setelah mengalami pertentangn panjang, sehingga dapat mengusir para kaum sofis yang membawa kerusakan. Metode ini semakin menyebar dan diikuti oleh para pemuda-pemuda Athena kala itu, seiring dengan bergulirnya waktu metode tersebut terus dikembangkan oleh para murid-muridnya dan kemudian disebut sebagai metodologi ala Socrates, yang dijadikan alat untuk mencari kebenaran.

Berbicara tentang filsafat, nama Socrates sangat familiar kita dengar. Socrates adalah anak seorang pemahat yang bernama Sophro-Niscos dan seorang bidan yang bernama Phainarete. Pada awalnya Socrates membatu ayahnya memahat patung, namun kemudian dia mengubah haluan menjadi seorang pemahat yang membentuk manusia. Pada saat itu, terjadi transformasi dalam ranah pengetahuan. Di mana para filsuf-filsuf terdahulu fokus pengkajiannya pada alam. Sedangkan era Socrates, dalam ajarannya mengkaji manusia sebagai obyek pembahasan yang terfokuskan pada kehidupan, guna mencapai kebajikan dan kebaikan.

Socrates menghabiskan seumur hidupnya  untuk berdialog dan mengajar anak-anak muda. Socrates terus berjalan menyusuri alun-alun dan lorong-lorong untuk berdialog dengan siapa saja. Dalam perjalanannya, Socrates menggunakan cara dialektika, terus bertanya dengan mengajukan pertanyaan awal yang mudah dan menanyakan ulang dengan pertanyaan-pertanyaan yang radikal. Dangan itu, Socrates menemukan kebenaran universal dari beberapa kebenaran-kebenaran khusus. Socrates memandang filsafat sebagai sarana mencari kebenaran – tidak mengajarkan, akantetapi memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat memancing keluarnya gagasan-gagasan yang tersimpan dalam diri seseorang, sehingga lawan dialognya menyadari dengan sendirinya kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan argumen yang dilontarkan. Mengingat pernyataan yang terus diunggapkannya “Yang saya ketahui dengan pasti ialah bahwa saya tidak tahu apa-apa”. Ketidak tahuan menjadi dasar dalam filsafatnya. Oleh karena itu, dia selalu menganjurkan kenali diri sendiri.

Socrates dipandang bukanlah tipe-tipe orang yunani yang ideal, yang dikenal sebagai orang-orang menawan, badannya pendek, hidungnya pesek, mulutnya lebar. Namun, kekurangan fisik tersebut ditutupi dengan kecerdasannya dan ketelitiannya dalam mencari kebenaran. Terlihat pada dialognya dengan Meno, setelah dia memberikan pembinaan tentang hakikat kesatua dalam keberagaman yang dianalogikan pada warna, bahwa selain warna hitam dan putih juga terdapat beberapa warna yang lain. Dengan pembinaan tersebut Meno dapat memaparkan beberapa pendefinisian tentang kebajikan, namun definisi yang terakhir di paparkan, kebajikan adalah kesenangan dalam sesuatu yang terpuji dan memiliki kekuatan dalam mencapainya. Akan tetapi, Socrates menayakan ulang tentang beberapa definisi yang dilontarkan oleh Mino, sehingga Meno mengeluh bahwa percakapan dengan Socrates membuat dirinya mengalami syok berat. Singkat cerita, Socrates juga mendefinisikan tentang kebajikan – di saat sang budak Meno ikut andil dalam diskusi – bahwa kebajikan adalah kebaikan, dan segala sesuatu, baik jiwa ataupun badan, berada di bawah kontrol pengetahuan (Meno:Plato). Sesuai dangan penjelasan ini Aristoteles juga berpendapat – mengambil pendapat plato – bahwa dalam jiwa manusia dapat di pilah menjadi dua bagian, yakni; rasional dan irasional dan ada dua macam keutamaan, yakni; intelektual dan moral. Intelektual dapat diperoleh dari pembelajaran, sedangkan moral dapat diperoleh dari kebiasaan.

Sesuai dengan ajaran-ajarannya, Socrates memiliki jiwa keutamaan yang sangat tinggi, mengesankan, adil, tidak pernah memuaskan hawa nafsunya. Selain itu, dia juga memiliki sikap cerdik dan penuh kehati-hatian dalam menimbang mana yang baik dan mana yang buruk. Kebaikan dan kebajikannya begitu nampak disaat Socrates menerima hukuman dengan tuduhan-tuduhan salah. Di saat para muridnya mengajak Socrates untuk lari, namun Socrates menolak melanggar hukuman yang sudah ditetapkan. Dengan bentuk penolakan dan sikap ketenangannya, Socrates mejadi inspirator utama – bahkan nabi utama kaum stoa dalam sepanjang perjalanan sejarah mereka (Sejarah filsafat barat: Bertrand russel,345).

Melihat karakter-karakter dan dobrakan-dobrakan dalam memperjuangkan kebenaran dan membangun kebijaksanaan  dalam diri masing-masing manusia, selain itu, Socrates juga menjadi guru dari dua filsuf yang sama-sama memberi pandangan besar pada era-era selanjutnya, memberikan gambaran dalam benak kita, bahwa Socrates sebagai nabi utusan tuhan, sesuai dengan sifat-sifat para nabi yang empat, yakni; shiddiq (benar dan jujur), tabligh (menyampaikan), Amanah (dipercaya), fathanah (cerdas).  Kemungkinan Socrates sebagai nabi juga didukung dengan hadist nabi yang menjelaskan bahwa jumlah nabi ada 124.00, sedangkan jumlah para rasul ada 313 (HR Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya). Dalam pejalanan hidupnya Socrates menegakkan Kembali keadilan dan kebenaran pada saat terjadinya kedangkalan ilmu pengetahuan oleh kaum Sofis yang merajalela.

SOCRATES SEBAGAI NABI

imabajogja


Tempat Informasi IMABA YOGYAKARTA


Post navigation


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *