Karya : Taufik Hidayat

Manusia adalah spesies yang paling paling banyak dan merupakan satu-satunya spesies yang paling Tangguh bertahan hingga sekarang. Manusia tergolong dalam spesies primata; mereka dicirikan sebagai kera besar yang berdiri tegak dan berjalan di atas kedua kakinya, dan spesies yang memiliki kemampuan kognitif yang dapat membedakan dari beberapa spesies yang lain. Oleh karena itu, dalam ajaran-ajaran islam, manusia di berikan kedudukan yang tinggi dalam alam semesta ini, yakni sebagai khalifah di muka bumi.

Keberlangsungan manusia dalam mempertahankan spesiesnya hingga sekarang berbeda cara dengan spesies-spesies yang lain. Manusia selain memperkuat kekuatan fisiknya, mereka pun memperkuat kekuatan pikirannya dalam menghadapi segala bentuk seleksi-seleksi alam semesta. Dengan hal itu, berkembangnya kekuatan manusia, yang mana berkembangnya tersebut sebagai tujuan dari kehidupannya, yaitu kemerdekaan dan dunia kebebasan sejati.

Manun, kemerdekaan dan kebebasan sejati sebagai tujuan utama hidup manusia tercapaikan?, atau Cuma sebagai ujuan yang tak tersampaikan?. hal ini perlu kita kaji Kembali. Semakin bekembangnya manusia dan semakin produktifnya manusia, harapan-harapan utama kehidupan yang dijelaskan di muka, bukan semakin mendekati keterwujudannya, malah semakin pudar dan jauh dari kata terwujudnya.

Semakin banyak bentuk produksi manusia, semakin kreatif manusia dan semakin pelik kehidupan manusia, manusia semakin kehilangan esensi individualiatasnya. Manusia dahulunya sebagai spesies yang paling berkuasa perlu dipertanyakan lagi individualitasnya. Hasil-hasil kerja manusia, yaitu produk, sudah menjadi individu asing yang tak lagi butuh terhadap penciptanya, sesama manusia sebagai makhluk sosial telah kehilangan humanisnya. Manusia diperbudak oleh produknya sendiri. Dan manusia teralienasi oleh sesamanya, produknya dan bahkan dirinya sendiri (Karl Marx : capital ).

Dengan menyembah berhala, maka manusia mengubah dirinya sebagai benda. Dia memasrahkan kehidupannya kepada produk siptaannya sendiri. Manusia tidak memposisikan dirinya sendiri bukan lagi sebagai orang yang menciptakannya, dengan mirisnya, manusia bersentuhan dengan dirinya guna menyembah berhala (Erich fromm : 1961). Perjanjian lama mengatakan bahwa “patung-patung itu memiliki mata, tetapi tidak melihat. Mereka memiliki telinga, tetapi tidak dapat mendengar”. Namun, begitu bodohnya manusia. Semakin manusia menyembah terhadap berhala, semakin dia miskin, semakin dia kehilangan siapa dirinya. Hingga masih pantaskah manusia tetap dikatakan sebagai manusia.

Marx berharap dalam tulisannya, bahwa manusia seharusnya menjadi tuan dan pencipta sejati dari kehidupannya sendiri, sehingga manusia bisa membuat kehidupan sebagai urusan utamanya, bukan memproduksi sarana kehidupannya (Erich fromm : 1916). Tak seharusnya manusia hanya menjadi pelengkap dalam memotor berjalankan produknya, manusia seharusnya tetap sebagai manusia, produk hasil kerja sebagai alat mempermudah dan pelengkap kehidupannya, bukan malah sebaliknya.

10 thoughts on “TAK LAGI MANUSIA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


imabjakarta.com -DPW Ikatan Mahasiswa Bata-Bata (IMABA) Jogja kembali mengadakan kajian bulanan dengan tema “Logic and Reality Oriented Education and Decision Making” pada Jumat malam (14/2) di Kraton DPW IMABA  Jogja. Kajian ini menghadirkan Mas Aqib Muhammad KH sebagai pemateri dan dimoderatori oleh Ahmad Rahmatullah, anggota divisi intelektual IMABA Jogja.

Dalam kajian kali ini, pemateri mengangkat gagasan Paulo Freire, seorang filsuf dan pendidik asal Brasil yang terkenal dengan konsep pendidikan sebagai praktek pembebasan. Freire menolak model pendidikan “gaya bank”, di mana peserta didik hanya dianggap sebagai wadah kosong yang diisi oleh pengetahuan dari guru. Sebaliknya, ia menekankan pendidikan yang dialogis, di mana pendidik dan peserta didik sama-sama menjadi subjek yang berpikir kritis untuk memahami realitas sosial mereka.

Menurut Freire, pendidikan harus membebaskan, bukan hanya peserta didik tetapi juga pendidik itu sendiri dari “perbudakan ganda” berupa kebisuan dan monolog. Pendidikan tidak boleh sekadar menghafal, tetapi harus melibatkan pemahaman kritis terhadap dunia nyata agar individu mampu mengambil keputusan yang lebih baik dalam hidupnya.

Para peserta diajak untuk memahami bahwa pendidikan bukan hanya soal sekolah, tetapi juga bagaimana seseorang membentuk dirinya melalui interaksi dengan keempat faktor ini.

Salah satu peserta, Taretan Wahyu, mengajukan pertanyaan tentang bagaimana cara mengalahkan ego ketika harus mengambil keputusan penting dalam hidup. Dalam menjawab pertanyaan ini, pemateri menekankan bahwa “Jangan menunggu, inti dari berpikir adalah berpikir.” Artinya, seseorang harus aktif dalam proses berpikir kritis dan refleksi diri, bukan hanya menunggu waktu yang tepat atau menghindari konflik batin.

Kajian ini memberikan wawasan mendalam tentang hubungan antara pendidikan, realitas, dan pengambilan keputusan. Melalui pemikiran Paulo Freire, peserta diajak untuk melihat pendidikan sebagai proses pembebasan yang memungkinkan individu berpikir kritis dan membuat keputusan yang lebih baik. Dengan memahami empat faktor pendidikan individu diharapkan setiap peserta mampu menerapkan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari.

Pemateri  juga dikenal sebagai guru ngaji serta penulis beberapa buku. Di antaranya Mata Ibu, handphone rohimahullah, Yang Terluka oleh Cinta, Tamasya ke Taman Diri, dan Nak Ibu Baik-Baik Saja.

Selain itu kajian di DPW IMABA Yogyakarta ini menjadi ruang intelektual yang berharga bagi para mahasiswa dan anggota IMABA untuk terus memperkaya pemikiran dan refleksi diri, sejalan dengan semangat pendidikan yang membebaskan. (Ari)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Karya: San_mhmd. Yogyakarta, Februari 2025

Aku telanjang dada,
di sela rintik dan kabar tak terketik.
Sunyi, tapi berisik.

Pada hujan di luar jendela,
adakah rindu yang tertitip
pada rintik, ketik dan berisik?

Dingin
apakah aku akan insomnia untuk malam ini?
Alunan musik ‘Kata’ tak mampu meninabobokkan ku,
dingin mu tak kuasa malam ini.

02:07
‘Bangun kedinginan, kapan yang hujan ini?”
ketik mu dari peluk dingin seberang.

“Barusan, pas kamu ninggalin pesan ini, ” Ketik ku dengan peluk dingin rindu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Karya: Arie

Di tanah budaya, tempat para pejuang kata,
IMABA berdiri, kokoh dengan jiwa.
Seperti angin yang membelai dedaunan,
Ia menyapa, mengajak dalam kehangatan.

Persaudaraan, bukan sekadar ungkapan,
Tapi jalinan hati yang tak terputuskan.
Di bawah bendera yang menjunjung tinggi cita,
Kita melangkah bersama, mengeja makna.

Lihatlah senyum yang merekah di setiap sudut,
Di sini, tak ada duka yang terbungkus kabut.
IMABA mengajarkan arti pelukan tanpa syarat,
Menyatukan yang berbeda dalam satu semangat.

Wahai sahabat, jangan ragu melangkah masuk,
Di sini, setiap langkahmu akan dijaga penuh.
Bukan hanya tentang rapat atau program kerja,
Tapi tentang cerita, tawa, dan mimpi yang terjaga.

Ada tangan yang selalu siap menggenggam,
Ketika badai datang, tak usah bimbang.
Di balik dinding IMABA, ada rumah yang hangat,
Di mana perjuangan kecil jadi berkah yang lekat.

Mari, kawan, jangan ragu untuk bergabung,
Di sini, kita adalah nada dalam sebuah lagu agung.
Meniti jejak, membangun masa depan penuh warna,
Di bawah langit Yogyakarta, bersama IMABA kita berkarya.

IMABA bukan sekadar nama, tapi jiwa.
Jiwa yang hidup di antara asa dan cita.
Mari bersama, kita warnai dunia,
Dengan persaudaraan yang tak akan pernah sirna.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *